Papua, KONFLIK dan perang antarsuku. Boleh jadi dua persoalan inilah yang kerap muncul di benak masyarakat Indonesia ketika mendengar atau menyebut kata Papua (dulu Irian Jaya).
Papua, diakui atau tidak, memang kerap memunculkan kontroversi jika kita keberatan menyebutnya sebagai konflik. Ketika provinsi itu akan dimekarkan beberapa tahun silam juga mengundang pendapat pro dan kontra yang mengimbas langsung ke masyarakat.
Di Kabupaten Mimika, belum lama berselang terjadi pula perseteruan antarwarga (di luar Papua, kabar yang santer terdengar adalah perang suku), padahal faktanya tidak seperti itu. Perseteruan antarwarga ini pun akhirnya tidak berlanjut setelah diselesaikan secara adat lewat upacara bakar batu.
Pada prinsipnya masyarakat Papua yang terdiri dari banyak suku itu adalah cinta damai. Hal itu jelas terlihat dari kebiasaan hidup mereka yang sangat peduli terhadap ekosistem lingkungan di sana.
Namun, fakta tidak bisa dimungkiri bahwa sejak Irian Jaya (dulu) berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1 Mei 1963, hingga saat ini setidaknya ada empat permasalahan dalam pembangunan yang tidak dapat ditanggulangi dengan baik, yaitu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan/keterpurukan, dan kesehatan yang buruk (4K).
Kita tidak bisa pula menutup mata bahwa jika ada peristiwa tertentu terjadi di Papua, penyelesaiannya selalu dengan keputusan politik. Adanya UU Otonomi Khusus Papua adalah salah satu di antaranya. Dalam UU itu antara lain diatur soal pembagian pendapatan dari pertambangan minyak antara pemerintah daerah dan pusat yang perbandingannya 70%:30%.
Dengan kesepakatan 70:30 itu, pemerintah pusat diwajibkan memberikan kompensasi kepada Papua, selain penerimaan dari hasil pajak maupun sumber daya alam seperti kehutanan, perikanan, dan pertambangan.
Pemerintah pusat juga wajib mengalokasikan dana alokasi khusus untuk pendidikan dan kesehatan sebesar 2% dari dana alokasi umum nasional. Ketentuan ini berlaku selama 20 tahun sejak UU Papua diundangkan.
UU Otonomi Khusus Papua ini secara keseluruhan memuat tak kurang dari 78 pasal. Intinya adalah, selain penambahan pendapatan daerah, juga memberi keleluasaan bagi rakyat Papua untuk membentuk Majelis Rakyat Papua sebagai Dewan Pertimbangan Hak-hak Khusus Rakyat Papua, pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dan Komnas HAM.
Namun di luar persoalan-persoalan politik seperti di atas, Papua menyimpan banyak pesona atau keindahan yang boleh dibilang tidak ada duanya di Indonesia. Papua masih banyak menyimpan kekayaan alam nan alami, budaya, dan lain-lain yang boleh jadi bakal mampu menjadi jendelanya Indonesia jika kita punya komitmen mengelolanya. Potensi wisatanya juga sangat luar biasa. Persoalannya sekarang, siapa yang harus menyentuhnya lebih dulu.
Dilatarbelakangi fakta-fakta seperti itulah, Media Indonesia bersama Tim Ekspedisi dari Metro-TV awal bulan ini melakukan ekspedisi ke bumi ujung timur Indonesia tersebut. Tim yang beranggotakan enam orang itu tidak tanggung-tanggung sempat pula naik ke kawasan puncak Gunung Jayawijaya hingga ke wilayah yang kandungan oksigennya sangat tipis.
“Baru sekarang ini kami melakukan liputan yang medannya mahaberat, tapi sangat mengasyikkan, karena kami dapat melihat pemandangan yang indah menakjubkan,” kata wartawan Media Mirza Andreas yang laporannya dari sana dapat disimak di tabloid ini.
Kekaguman serupa juga diungkapkan Tim Ekspedisi Metro TV. “Bumi Papua memang luar biasa. Baru kali ini kami mendapat objek ekspedisi yang betul-betul menantang untuk kami jelajahi,” ujar salah seorang anggota tim saat menyiapkan tayangan Ekspedisi Pesona Papua.
Persisnya seperti apa, silakan Anda simak laporan soal itu dalam acara Ekspedisi di Metro TV yang ditayangkan malam ini. Untuk melengkapi informasi tentang daya pesona Papua tersebut, silakan pula baca lembar demi lembar tabloid ini. Papua memang memesona.(
Leave a Reply
IMPORTANT! To be able to proceed, you need to solve the following si
Tidak ada komentar:
Posting Komentar